Ahad, 7 Februari 2010

Falsafah Kejadian

Ini adalah jawapan kepada soalan tentang mengapakah Allah menciptakan manusia...?

Falsafah Penciptaan

Pandangan Irfan (Tasauf) dan Filsafat

Dua pandangan ini masing-masing berjajar secara vertikal dan dapat dibezakan antara satu dengan yang lain. Tuhan dalam pandangan Irfan (Tasauf) adalah Wujud nir-batas dan absolut yang memiliki ciri luaran. Dan tiada wujud lain yang dapat dijumpai secara horizontal dan vertikal di bawahnya yang sama atau berbeda dengan wujud-Nya. Namun dalam sudut pandang Filsafat, Wujud Tuhan berada secara horizontal dan vertikal dan terdapat wujud-wujud yang lain di bawah-Nya, dan menjadi sebab untuk seluruh kesempurnaan hakiki dan faktual seluruh wujud tersebut. Zat Wajib berada dalam hierarki wujud, dan tidak memiliki kait-kait partikular dan imkan-imkan yang lain. Namun harus diperhatikan bahwa para filosof setelah berusaha melintasi tangga-tangga kausalitas(sebab akibat), memahami bahwa Zat Pencipta tidak memiliki kait-kait dan bersifat absolut. Dan pada puncak perjalanan seorang filosof, ia hinggap pada pengakuan terhadap kesatuan wujud.

Jawaban Filsafat dan Irfan

Filsafat dan Irfan dalam menjawab pertanyaan apa hidup itu? mengapa kita dicipta? Dan untuk tujuan apa? mengajak kita untuk mencermati point-point berikut ini.

1. Hubb Zat; Keindahan-Nya nyata-benderang tak-tersembunyikan. Tujuan penciptaan adalah Zat Tuhan itu sendiri. Lantaran Dia mencintai diri dan karya-Nya yang menyebabkan Dia mencipta sehingga dengan cinta-diri ini sifat-sifat-Nya bertajalli. Dialah yang menciptakan manusia dari ketiadaan (’adam) kepada keberadaan (wujud). Sebelum manusia mendapatkan anugerah kehidupan, terlebih dahulu ia mendapatkan nikmat keberadaan. Kehidupan merupakan anugerah Ilahi kepada manusia. Tuhan Wujud dan Mewujudkan bahkan Swa-Eksisten(wujud mandiri). Tuhan Hidup dan Menghidupkan, Sumber kehidupan bahkan Swa-Hidup dan Ever-Living. Hidup yang didapatkan oleh manusia adalah bersumber darinya. Boleh jadi Tuhan mewujudkan sesuatu dimana dalam hal ini manusia namun tidak memberikan kehidupan kepadanya. Manusia setelah dicipta (diwujudkan) lalu ditiupkan nafas kehidupan pada dirinya.

Pada azal pancaran keindahan-Mu menjelma

Terajut cinta dan api membakar seluruh semesta (Penyair Hafiz)

Maksudnya bahwa tatkala Tuhan menghendaki zat-Nya bertajalli muncullah cinta dan cinta itu membakar seluruh semesta dan manusia. Semesta dan manusia yang terbakar cinta bergerak berlari ke arah-Nya. “Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. Syura [42]:53) Dalam ayat ini verbs yang digunakan adalah verbs present contionuous tense (mudhare’) yang menunjukkan kedawaman dan kesenantiasaan. Artinya bahwa seluruh urusan seluruhnya senantiasa dan secara dawam kembali kepada Allah Swt. (Al-Mizan, Muh. Husain Thaba-thabai)

Hubb-Zat ini dapat kita jumpai dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal sebagai hadis kanz, “Aku adalah Khazanah tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Ku mencipta supaya dikenal.”

Dengan demikian seluruh jagad raya ini bergerak berputar menyasar tujuan ini. Dan manusia, mau-tak-mau, tahu-tidak-tahu, bergerak menuju pada tujuan tersebut. “Dan hanya kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke arah mana pun kamu menghadap, di situlah terdapat “wajah” Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Baqarah [2]:115)

Dimanapun engkau palingkan wajahmu engkau jumpai Tuhan Mahatahu dan Mahaluas

Jiwa merupakan tirai kecintaan-Nya

Melihat cermin pancaran diri-Nya

Setiap bunga yang bersemi adalah karya, corak dan semerbak firman-Nya (Penyair Hafiz)

2. Istijla’: Jala bermakna melihat diri sendiri. Misalnya melihat diri di hadapan cermin. Istijla’ artinya Allah Swt menampilkan diri-Nya di luar sehingga Dia menyaksikkan diri-Nya. Kesempurnaan istijla ini hanya dapat disaksikan pada sosok manusia sempurna (insan kamil); satu-satunya manusia yang menjadi jelmaan sempurna Haq Swt. Pada diri insan kamil Allah Swt menyaksikan jelmaan diri-Nya dan dialah yang mengemban amanat berat Ilahi di pundaknya.(Yadullah Yazdan Panah:2001)

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).” (Qs. Al-Ahzab [33] :72)

3. Mengenal Tuhan dan Semesta; Tujuan penciptaan manusia adalah manusia melihat dan mengenal semesta dengan pandangan Ilahiah; “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. Thalaq [65]:12) Beriman kepada Allah yang kekuasaan dan ilmu-Nya tiada terbatas sangat konstruktif bagi manusia. Dengan anggapan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu, oleh karena itu kita harus berhati-hati untuk tidak terkontaminasi. Karena Dia berkuasa atas segala sesuatu, oleh karena itu kita harus berhati-hati untuk senantiasa menempatkan Dia dalam setiap urusan dan hanya pada-Nya meminta pertolongan. (Abdullah Jawadi Amuli:2000)

4. Penghambaan kepada Tuhan; Manusia diciptakan untuk beribadah dan menghamba kepada Tuhan dan tiada menyembah selain-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“ (Qs. Al-Dzariyat [51] :56) Lantaran ibadah yang menjadi maksud penciptaan mausia. Namun apa yang dimaksud dengan ibadah itu hanya terfokus pada shalat, zakat, puasa, haji dan semacamnya? Tentu saja tidak. Hakikat penghambaan adalah manusia hanya menyembah kepada Tuhan dan dalam kehidupannya tiada tempat yang ia jadikan sandaran selain Tuhan. Dialah sebagai satu-satunya tumpuan asa dan harapan. (Mizan, Allamah Thaba-thabai). Dengan kata lain, setiap gerakan dan perbuatan baik yang dilakukan manusia takala ia maksudkan untuk Tuhan dan berwarna Ilahiah maka gerakan dan perbuatan tersebut tergolong sebagai ibadah. Dalam keadaan sedemikian makan, tidur, belajar, pekerjaan seluruhnya dalam pancaran satu cahaya. Shalat dan pujian yang seragam berseru “Katakanlah Dia Allah.” Dalam kaitan ini, Baba Thahir bersenandung:

Alangkah bahagianya mereka Tuhan menjadi penolongnya

Hamd (memuji) dan QulHuwallah (berkata Allah) perbuatannya

Alangkah bahagianya mereka yang senantiasa dalam kondisi shalat

Jannatul Ma’wa tempat kembalinya (Baba Thahir)

Ayat di atas menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan mereka”. Pada dasarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa manusia itu harus secara sadar, berpengetahuan, dan bebas menjadi hamba Tuhan. Manusia harus yakin bahwa Tuhanlah yang layak untuk disembah dalam segala bentuknya. Tuhan tidak ingin memaksa makhluk dan ciptaannya untuk menyembahnya. Dengan demikian, manusia dan makhluk adalah penyembah Tuhan yaitu bahwa ia senantiasa menyembah-Nya. Jadi titik tekan penyembahan dan ibadah di sini adalah bahwa manusia dan makhluk sebagai subyek yang menyembah, bukan obyek yang disembah (baca: Tuhan).

5. Pagelaran ujian; Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahabijaksana menyediakan lahan dan pelataran semesta sehingga segala potensi menyempurna yang dimiliki manusia teraktualisasi secara menyeluruh. “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Mulk:2)

Allamah Thaba-thabai Ra dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Bahwa adanya penciptaan hidup dan mati adalah untuk diketahui siapa yang lebih baik amalnya. Maksudnya orang-orang yang lebih baik amalnyalah yang sebenarnya menjadi maksud penciptaan. Adapun orang-orang selain mereka diciptakan lantaran keberadaan orang-orang ini.” (Tafsir Al-Mizan) Dengan kata lain, untuk amal shalehlah hidup dan mati diciptakan. Kehidupan dan kematian digelar sebagai arena dan gelanggang bagi manusia untuk beramal shaleh.

6. Kedekatan (taqarrub) dan meraih rahmat Ilahi; Tujuan penciptaan manusia adalah sampainya manusia ke rahmat dan qurb Ilahi; “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud [11]:118-119)

Posisi tertinggi yang bisa diraih oleh manusia adalah maqam kedekatan kepada Tuhan. Yang dimaksud dengan kedekatan kepada Tuhan adalah bahwa manusia sampai pada derajat dimana dia menemukan hubungannya dengan Tuhan.

Sebagaimana Anda ketahui bahwa seluruh eksistensi dan maujud-maujud dalam penciptaan memiliki interaksi dengan-Nya. Seluruh maujud-maujud alam tidaklah bergantung sebagaimana kebergantungan mereka kepada-Nya.

Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Hai manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fathir [35]: 15)

Yang dimaksud dengan kesempurnaan akhir adalah bahwa manusia akan sampai pada suatu stasiun (maqam) dimana dia memahami kekurangan dan kebergantungannya kepada Tuhan. Pemahaman ini, bukan merupakan pemahaman yang diperolah secara hushuli (perolehan) karena pemahaman perolehan ini bisa diperoleh dengan bantuan dari argumentasi-argumentasi filosofi, melainkan yang dimaksud pemahaman di sini adalah pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani (mukasyafah dan musyahadah).

Artinya bahwa manusia akan menggapai maqam tersebut dimana dia tidak ada sesuatupun yang akan mampu menarik perhatiannya selain Tuhan, wujudnya seakan telah memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang dilakukannya selain untuk mencari keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai maqam dan posisi seperti ini sama sekali tidak akan pernah menganggap adanya kemandirian untuk dirinya dan dia mengarungi kehidupannya salam satu interaksi permanen dan penyaksian irfani dengan Tuhan. Pada posisi dan derajat seperti ini, dimana tidak ada lagi bekas dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada adalah dari Tuhan. Imam Ali As berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani bersabda, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.” “Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya.”

Dari keenam tujuan yang disebutkan di atas: Tujuan yang disebutkan pada point 2 hingga 6 dapat disimpulkan pada satu tujuan dengan penjelasan bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia sehingga dengan pilihannya, ia menapaki jalan makrifat dan ibadah kepada Tuhan. Dan di atas jalan tersebut ia menggapai rahmat Ilahi dan meraup kebahagiaan. Dan dengan perantara rahmat itu ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: Tujuan pamungkas dari penciptaan manusia adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Ujian manusia, beribadah kepada Tuhan masing-masing merupakan wasilah untuk sampai kepada tujuan pamungkas ini. Oleh karena itu selain mendekatkan diri dan rahmat Ilahi, terdapat tujuan-tujuan intermedit yang merupakan keniscayaan bagi manusia sampai kepada tujuan akhir ini. (Taqi Misbah Yazdi:1367)

Bagaimana sampai pada Tujuan

Sebagai penutup bab falsafah penciptaan ini, layak untuk disebutkan di sini bahwa secara selintasan jalan untuk sampai kepada tujuan penciptaan.

Allah Swt memberikan risalah di pundak manusia-manusia terunggul dari kalangan para nabi dan wali. Dan manusia dengan mengikuti jalan para nabi dan wali, mengamalkan petunjuk dan ajarannya maka ia akan sampai kepada tujuan utama penciptaannya; Al-Qur’an dalam hal ini menegaskan: “Maka bertakwalah kepada Allah. hai orang-orang berakal yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, dan mengutus) seorang rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang jelas supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh dari kegelapan kepada cahaya.” (Qs. Thalaq [56]:10-11)

Ayat ini dengan nada khusus menjelaskan realitas ini bahwa para nabi diutus untuk menarik tangan manusia, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan lantaran kejatuhannya dari kediaman aslinya, kepada cahaya yang merupakan hakikat manusia dan ruh Tuhan yang terpendam dalam dirinya.

“Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan sebagai penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi pelita yang menerangi.” (Qs. Al-Ahzab [33]:45-46)

Ayat ini dengan jelas mengisahkan realiti bahwa pengutusan para nabi adalah untuk menyeru dan mengajak manusia kepada Allah Swt dan mereka bak pelita benderang, menerangi jalan manusia untuk mencapai tujuannya.

Dari beberapa point di atas dapat disimpulkan bahwa manusia dicipta bukan tanpa tujuan. Lantaran Tuhan Sang Pencipta, berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, tidak berbuat sesuatu tanpa memiliki tujuan. Penciptaan manusia dan semesta bagi Tuhan merupakan hubb-Dzati (kecintaan diri), medan bertajalli (manifestasi), supaya yang dicipta beribadah kepada Sang Pencipta, medan ujian, dan yang paling utama adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Mengkaji hidup dengan cara sedemikian mengajak manusia untuk hidup yang lebih bernilai, berbobot dan berkualiti. Hidup yang berada di bawah pancaran mentari Ilahi yang memberikannya kehidupan. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (Qs. Al-Anfal [8]:24)

B. Tujuan Penciptaan Manusia

Allah berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku(beribadah).“ QS. Al-Dzariyat 51 :56

Mengapa manusia diperintah utk menyembah Allah? Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman,“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi” dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja.

Pada tempat lain Dia berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 156)

Ayat di atas menyatakan bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan tempat tujuan manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan “kembali di dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian para sufi, dimana mereka meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam Tuhan, melainkan kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya, yaitu perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan kesempurnaannya inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan.

“Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-Maidah [5]: 18)

“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18)

“Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4, dan Qs. Al-Hadid [57]: 5)

“Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura [42]: 53)

“… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. As-Sajdah [32]: 11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15)

“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ….” (Qs. Al-Maidah [5]: 48, dan Qs. Hud [7]: 4)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6)

Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber keberadaan.

Berdasarkan ayat di atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu apa makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?

Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat kepada Tuhan.

Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak.

Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.

Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi kepada-Nya.

Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.”

Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia diciptakan untuk menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119)

Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan rahmat. Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk rahmat?

Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan hidayah Ilahi yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.

Dengan uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) tidak ada sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat, seluruh potensi wujud manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan akhir wujud dirinya.

Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, …” (Qs. Hud [11]: 7) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang melakukan perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah yang melakukan perbuatan yang tercela dan tak shaleh.

Menurut ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik, berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya, ayat-ayat ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan manusia menuju ke arah kesempurnaan keberadaannya.

'Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang2 sebelummu,agar kamu bertakwa'. QS Al Baqarah 2:21

Apakah takwa itu? Imam Jaafar as Shadiq as saat ditanyai oleh muridnya arti takwa, berkata:

'Takwa adalah Allah tidak melihatmu di tempat yg dilarang dan tidak kehilanganmu di tempat yg diperintah'

Dan Amirul Mukminin Ali as berkata:

1. Bertaqwalah kepada Allah, walaupun sedikit. Karena tidaklah dapat dikatakan sedikit sebuah perbuatan yang disertai dengan ketaqwaan. Bagaimana mungkin ia dikatakan sedikit, sedangkan ia diterima di sisi-Nya.

2. Jika engkau tidak diberi kekayaan, maka janganlah sampai tercegah darimu ketakqwaan.

3. Aku wasiatkan kepada kalian, wahai hamba-hamba Allah, dengan taqwa kepada Allah, karena sesungguhnya ia tali kekang (kendali) dan tiang penopang. Berpeganglah erat-erat dengan talinya dan tetaplah berada dalam hakikat-hakikatnya. Bertaqwalah kepada Allah dengan ketaqwaan orang yang berakal (cerdas), yaitu orang yang menyibukan hatinya dengan tafakur, yang ketakutannya telah meletihkan badannya (dengan ibadahnya), dan tahajud telah menjadikannya terjaga dari sebagian besar waktu tidurnya.

4. Bertaqwalah kalian kepada Allah dengan ketaqwaan orang yang bila mendengar (ayat-ayat Allah), hatinya menjadi khusyuk; bila melakukan perbuatan dosa, dia terus bertobat; bila ditakut-takui (akan siksa Allah), dia cepat beramal; bila diperingatkan, dia cepat-cepat sadar; bila diyakinkan (hatinya), dia terus berbuat baik; bila diberi nasihat, dia terus mengambilnya (nasihat itu); dan bila diingatkan, dia terus waspada.

5. Aku wasiatkan kepada kalian berdua (al-Hasan as dan al-Husain as) untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah. Janganlah sekali-kali kalian berdua menghendaki dunia sekalipun dunia itu menghendaki kalian, dan jangan pula kalian menyesali sesuatu dari dunia ini yang terlewat dari kalian. Katakanlah yang benar dan beramallah demi mengharapkan pahala (dari Allah). Jadilah kalian musuh bagi orang yang zalim dan penolong bagi orang yang di zalimi.

6. Tidak ada sesuatu yang lebih menyusahkan iblis daripada ucapan “La ilaha illallah” (Tidak ada tuhan kecuali Allah), ia adalah kalimat taqwa.

Itulah tujuan perintah menyembah Allah, namun sampai bila? Allah melanjutkan hal itu dalam firmanNya yg berikut:

'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang keyakinan' QS Al Hijr 15: 99

Ada yg mengertikan keyakinan itu sbg ajal. Amirul Mukminin Ali as berbicara ttg yakin:

“Yakin” mempunyai 4 cabang, yaitu: memandang segala sesuatu dengan ketajaman pikiran, menafsirkan dengan hikmah, menjadikan pelajaran sebagai nasehat dan sunnah orang-orang terdahulu. Maka barangsiapa memandang segala sesuatu dengan ketajaman pikiran, akan jelas baginya hikmah. Barangsiapa yang jelas baginya hikmah, dia akan mengenal pelajaran. Dan barangsiapa yang telah mengenal pelajaran, seakan-akan dia termasuk orang-orang terdahulu.

Ulasan guru kami pula:

Masalah tujuan penciptaan ini adalah tema yang telah ditetapkan pada bidangnya sendiri. Yaitu bahwa pada masing-masing dari nama dan sifat Ilahi, baik yang terkait dengan Dzat dan sesuai dengan tuntutan simplisitas Wujud Wajib, nama-nama dan sifat-sifat tersebut adalah Dzat-Nya itu sendiri, seperti sifat ilmu, qudrah, qayyumiyah, malikiyah, hakimiyah Tuhan, baik yang terkait dengan perbuatan (fi'il) maupun yang lebih dikenal sifat perbuatan misalnya rububiyah, raziqiyah, khaliqiyah, iradah, rahmat Tuhan, keindahan merupakan sifat-sifat tsubutiyah (tetap). Melalui perantara sifat-sifat inilah, Tuhan melontarkan emanasi-Nya. Dan di antara sifat-sifat ini terdapat kepenciptaan-Nya meniscayakan adanya proses mencipta dan mengkreasi, "Kullu yaumin huwa fii sya'n." (Qs. Al-Rahman [55]:29). Atau secara sederhana dikatakan bahwa KeMahapenciptaan Tuhan menuntut-Nya untuk selalu mencipta. Kemenciptaan-Nya ini adalah karena Dzat-Nya sendiri. Bukan karena sebab yang lain.

Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Bijaksana dan bahwa mutahil sosok bijak dan berilmu melakukan perbuatan sia-sia dan tanpa guna. Oleh karena itulah sistem penciptan Tuhan adalah sistem yang mustahil tanpa tujuan. Dan bahwa dalam sistem penciptaan ini tidak terdapat ketakberaturan dan kesemrawutan.

Atom-atom semesta pun bertutur kata:

Tiada dalam sebuah lingkaran satu titik yang bertolak belakang lebih kurangnya

Aku melihat perkara ini dengan penuh penerimaan

Ya, sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an, Sang Pencipta tidak menciptakan seluruh entitas dan eksisten, segala sesuatu dan fenomena untuk kesia-siaaan juga bukan untuk bermain-main. Melainkan poros dan asas penciptaan-Nya adalah berpijak pada tujuan penting, bahkan benda sekecil apa pun. Oleh karena itu disebutkan bahwa, sebab tujuan dan tujuan pamungkas penciptaan semesta dan munculnya seluruh entitas dan eksisten ini adalah untuk manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Allah Swt menciptakan alam semesta untuk menciptakan manusia, bukan untuk diri-Nya sendiri karena mustahil ia membutuhkan makhluk-Nya. Ini karena manusia adalah sebaik-baik makhluk sebagaimana Allah Swt adalah sebaik-baik Pencipta (ahsan al-khaliqin) Dalam hadis Qudsi disebutkan bahwa: "Wahai Bani Adam! Aku menciptakan segala sesuatu untukmu dan engkau untuk-Ku." ( Yabna Âdam! Khalaqtu al-asyâ liajlikum wa khalaqtuka liajli," Al-manhaj al-Qawî, jil. 5, hal. 516; 'Ilm Yaqin, jil. 1, hal. 381).

Karena itulah dikatakan bahwa: Tujuan penciptaan manusia apapun itu, hasilnya adalah untuk manusia itu sendiri dan bukan untuk Tuhan yang Mahakaya secara mutlak. Yang mana seluruh wujud kontingen termasuk manusia berhajat dan butuh kepada-Nya. "Wahai manusia! Kamu sekalian yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Qs. Al-Fatir [35]:15); atau pada ayat lainnya, "Dan Musa berkata (Bani Isra’il), “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya menjadi kafir, (maka tindakanmu ini tidak dapat mendatangkan mudarat bagi Allah, karena) sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Ibrahim [23]:8)

Amiril Mukminin Ali As dalam khutbahnya yang bersabda: "Kemudian daripada itu, Allah Yang Mahasuci dan Mahamulia menciptakan (semua) ciptaan. la menciptakan mereka tanpa suatu keperluan akan ketaatan mereka atau supaya selamat dari perbuatan dosa mereka, karena dosa dari seseorang yang berbuat dosa tidak merugikan Dia dan tidak pula ketaatan seseorang yang menaati-Nya menguntungkan-Nya. (Khutbah Hamam) (melainkan tujuan perintah untuk mentaati dan melarang untuk tidak bermaksiat adalah keuntungan bagi para hamba).

Al-Qur’an menjelaskan masalah tujuan penciptaan manusia dengan bahasa yang beragam. Sejatinya masing-masing dari ayat tersebut menyinggung satu dimensi dari tujuan ini, di antaranya: "Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Qs. Al-Mulk [57]:2). Artinya, ujian berpadu dengan pembinaan dan sebagai hasilnya adalah kesempurnaan. Dalam masalah lain, disebutkan "Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan semua jin dan manusia (yang durhaka)." (Qs. Huud [11]:118-119).

Kesemua ayat ini menegaskan satu hal, yaitu pembinaan, penggembelengan dan hidayah serta kesempurnaan umat manusia. Tujuan utama dan sejati di balik penciptaan manusia adalah pencapaian kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Tingkat tertinggi kemanusiaan dan alam malakut hanya dapat tercapai bila manusia berpijak pada pengenalan, makrifat, penghambaan secara sadar di hadapan Tuhan.

Berangkat dari sini menjadi jelas bahwa tujuan asasi dan maksud utama penciptaan manusia adalah sampainya manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan serta mencapai pelbagai kemuliaan yang paling tinggi dan nilai-nilai kemanusiaan yang hanya dapt diraih ketika berpijak di atas pengenalan, makrifat, penghambaan dan pengabdian secara sadar di hadapan Allah Swt. Yang mana kesemuanya ini tersembunyi dalam rahasia perintah untuk beribadah kepada-Nya yang akan mampu mendekatkan diri pada-Nya, Puncak semua Kesempurnaan. "Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali menyembahku." (Qs. Al-Dzariyat [51]:56).

Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Imam Husain As datang ke hadapan para sahabatnya dan bersabda: "Allah Swt tidak menciptakan para hamba kecuali untuk mengenalnya. Tatkala ia mengenalnya ia beribadah kepadanya. Dan tatkala beribadah kepadanya, ia akan terlepas dari penghambaan selain-Nya. ( InnâLlâh Azza wa Jalla ma khalaq al-'ibâd illa liya'rafuhu faidza 'arafuhu 'abaduhu, faidza 'abaduhu istaghnahu biibadatihi 'an ibadati man siwahu," Ilal al-Syarâi', Shaduq, sesuai nukilan dari al-Mizân, jil. 18, hal. 423).

1 ulasan:

  1. Artikel ini dikirim oleh Hadi ke dalam emel saya. Saya masukkan ke sini untuk berkongsi ilmu.

    BalasPadam